Kamis, 09 Oktober 2014

Senja dan Perpisahan


Pernahkah berfikir tentang senja?

Mengapa Alloh hadirkan senja yang menentramkan jiwa, lalu Dia ganti dengan maLam yang menyapa..
Senja yang menawan digantikan pekatnya maLam.

Senja hadir sesaat, tak berlama-lama. hanya sebentar.
namun pesonanya kadang membuat Qt ingin terus menikmatinya berlama-lama..


Apakah ini berarti bahwa semua yang Dia ciptakan selalu tak ada yang abadi?
setiap pertemuan akan tumbuh janin perpisahan.

Janin perpisahan yang kapan saja bisa terjadi..
Janin perpisahan yang kadang tidak Qt ingini...

Namun aku beLajar, bahwa perpisahan atau pertemuan itu akan terasa sama, jika Qt memaknai semuanya karena izin dan ridhoNya semata.

  Percayalah saudaraQ, bahwa daun yang berguguranpun atas izin dan ridhoNya.
Maka segala sesuatu yang singgah dalam hidup ini pun atas skenario dariNya


Hanya do'a yang bisa aku hadiahkan..
Semoga Alloh Swt. menjaga hati dan ragamu..
Menjaga aktivitas dan niatanmu agar tetap di JalanNya..

Selamat berjuang dimedan yang baru.. semoga Alloh memberikanmu punggung yang kokoh,
yang tetap menjadikanmu bersabar dan tetap bersyukur atas semua kisah-kisah dariNya..

keep istiqomah... saling mendoakan saudariQ...
Serahkan saja semuanya pada pemilik hati dan jiwa Qt..
yakinLah semua akan baik-baik saja...
Ada Alloh yang dengan segala kebesarannya....



#MageLang, 9 Oktober 2014

~Spesial untuk saudariQ yang harus pulang dan tak lagi bersama-sama kami disini,  semoga operasinya lancar dan dberi kesabaran selalu...






Rabu, 14 Mei 2014

Cinta Tanpa Definisi

Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya. Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi dahsyat.

Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuasaan besar.

Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.

Cinta adalah kata tanpa benda, nama untuk beragam perasaan, muara bagi ribuan makna, wakil dari kekuatan tak terkira. Ia jelas, sejelas matahari. Mungkin sebab itu Eric Fromm ~dalam The Art of Loving~ tidak tertarik ~atau juga tidak sanggup~ mendefinisikannya. Atau memang cinta sendiri yang tidak perlu definisi bagi dirinya.

Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan. Tidak ada definisi memang. Dalam agama, atau filsafat atau sastra atau psikologi. Tapi inilah obrolan manusia sepanjang sejarah masa. Inilah legenda yang tak pernah selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laela Majenun, Siti Nurbaya atau Cinderela. Abadilah Taj Mahal karena kisah cinta di balik kemegahannya.

Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia. Lukisan. Bukan definisi. Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusiawi, dengan detail-detail nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat. Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi sublim: begitu agung tapi juga terlalu rumit. Perang berubah menjadi panorama kemanusiaan begitu cinta menyentuh para pelakunya. Revolusi tidak dikenang karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya. Kekuasaan tampak lembut saat cinta memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya: seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayap Patah-nya.

Kerumitan terletak pada antagoni-antagoninya. Tapi di situ pula daya tariknya tersembunyi. Kerumitan tersebar pada detail-detail nuansa emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi pesonanya menyebar pada kerja dan pengaruhnya yang teramat dahsyat dalam kehidupan manusia.

Seperti ketika kita menyaksikan gemuruh badai, luapan banjir atau nyala api, seperti itulah cinta bekerja dalam kehidupan kita. Semua sifat dan cara kerja udara, api dan air juga terdapat dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat, Dahsyat, Lembut, Tak terlihat. Penuh haru biru. Padatmakna. Sarat gairah. Dan, anagonis.

Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisi: karena ~kemudian~ semua keajaiban terjawab disini.
 ~ Anis Matta ~ Serial Cinta

Sayap yang Tak Pernah Patah


Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak. Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah kasih Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka 'majnun' lalu mati. Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu disana. Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:

O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati

Mari kita ikut berbelasungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani. Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu sendiri.

Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. "Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta dihati yang lain," kata Rumi, "sebab tangan yang satu takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain." Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu posisi kita sangat kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah "pekerjaan jiwa" yang besar dan agung: mencintai.

Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yan sesungguhnya terjadi hanyalah "kesempatan memberi" yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita memiliki cinta, memiliki "sesuatu" yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: "Apakah yang akan kuberikan?" Tentang kepada "siapa" sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder.

Jadi kita hanya patah atau hancur karena lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah. Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita! ~ Anis Matta ~ Serial Cinta

Minggu, 04 Mei 2014

Bersahabatlah Hingga Ke Syurga


Mari lewati lorong waktu, menyusuri jalan-jalan dunia yang penuh tipu daya, dengan kebersamaan. Tapaki pergantian pagi, siang, petang dan malam, yang penuh liku, dengan persahabatan dalam keimanan.

Kita tak mungkin selamat mengarungi bahtera kehidupan yang sangat luas dengan ancaman badai fitnah ini, seorang diri. Kita tak dapat lolos dari ancaman fitnahnya dengan hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Karena, kita diciptakan sebagai makhluk yang penuh kelemahan dan mudah terpedaya.
“Dan diciptakan manusia itu dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa : 28)

Kebersamaan dan pertemanan di jalan Allah lah yang akan mengantarkan kita menyelesaikan hidup dengan kebaikan. Persaudaraan, kebersamaan dan persahabatan di jalan Allah lah yang juga akan mengiringi kita pada kebahagiaan akhirat. Allah SWT memberitakan bahwa hanya pertemanan atas dasar iman dan takwalah yang abadi.
Teman-teman akrab pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Az Zukhruf : 67).


Ibnu Katsir mengatakan, “Seluruh pertemanan dan persahabatan yang tidak dilandasi karena Allah pada hari kiamat akan berubah menjadi permusuhan.”

Begitu juga pesan Rasul SAW dalam haditsnya, yang menyebutkan bahwa kita akan dibangkitkan di hari kiamat bersama orang yang kita cintai. Siapa orang yang kita cintai? Siapa orang-orang yang paling dekat dengan kita dalam menelusuri hidup ini? Siapa orang yang paling menghiasi ingatan kita? Siapa yang menemani langkah- langkah hidup kita? Orang shalehkah dia? Mengajak pada kebaikan dan keridhaan Allah kah dia?

Duhai indahnya. Pertemuan yang sangat mengesankan dan penuh kegembiraan. Mari kita mulai dari sekarang. Bersahabat dengan orang-orang yang mendekatkan kita pada redha-Nya..”

~Mutiara Amaly

Kamis, 01 Mei 2014

Belajar dari kematian


Aku masih ingat, 13 januari 2013 adalah hari ahad. Aku bersama dengan teman-teman bertakziah ke rumah salah satu muridku.
Akhir pekan yang penuh kisah. Dia menegurku lembut lewat bahasa hikmahNya. Bahkan tidak hanya airmata yang kini tercipta. Lebih dari itu, teguran lembutnya cukup membuat hati bergetar. Betapa Dialah yang Maha tahu apa-apa yang akan terjadi.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. (Q.s Al Ankabut: 57).

Temanggung indah nan sejuk menjadi saksi akan perjuangan mereka. Kutemui seorang akhwat yang sangat istimewa. Sang akhwat yang harus mendidik dan merawat delapan buah hatinya. Subhanalloh…
Aku mendekapnya erat, menguatkan hatinya, agar beliau selalu tabah dan ikhlas. Sosok wanita yang lembut dan penyayang ini ternyata sangat tegar. Senyum manisnya yang tidak pernah tertinggal.  Aku tak menyangka ditengah tangis dan derai airmata sang buah hatinya, beliau selalu menampakan wajah ceria, wajah teduh dan wajah penuh ketegaran.

“Tarbiyah mengajarinyaku banyak hal. Mengajari tentang keimanan, tentang kesabaran. Dan hari ini Alloh benar-benar menguji kami. Alhamdulillah teman-teman semua disini juga tak henti-hentinya menolong keluarga kami. Ada yang nyumbang kain kafan, ada yang nyumbang uang untuk biaya pengobatan abi selama di Rs”.

Beliau juga ceritakan bagaimana sang suami tercintanya sampai akhir nafasnya belum pernah absen liqo. Bahkan ketika sakit parah, halaqoh dilakukan diRumah sakit, semua teman-teman halaqohnya terharu dan penuh harap dan do’a.

“Alloh menggugurkan dosa-dosa abi lewat penyakit hepatitis. InsyaAlloh aku Ikhlas, karena aku yakin Alloh swt. Lebih menyayanginya, sehingga begitu cepat Alloh memanggilnya”. Tutur beliau dengan lembut. 

“Ini sudah menjadi takdirnya, kita harus ikhlas”. Tambah beliau sambil memeluk anak bungsunya yang tak henti-hentinya menangis.
                                                                             *****************
 “Dan bagi tiap-tiap jiwa sudah ditetapkan waktu (kematiannya), jika telah tiba waktu kematian, tidak akan bisa mereka mengundurkannya ataupun mempercepat, meskipun hanya sesaat” (QS. Al A’raf :34)